Entri Populer

Selasa, 01 November 2016

makalah MAFHUM MUWAFAQAH DAN MAFHUM MUKHALAFAH



MAFHUM MUWAFAQAH DAN MAFHUM MUKHALAFAH


MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqih II
Kelas PAI-D Semester IV
Dosen Pengampu: Sayful Mujab, M.S.I




 




Disusun Oleh Kelompok 4:

1.      Sofiyunnisa’                  NIM: 1410110133
2.      Naeli Asrofil Umam      NIM: 1410110134
3.      Sayid Abdullah             NIM: 1410110135
4.      Apritiyani Putri              NIM: 1410110136



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
TAHUN AKADEMIK 2015/2016


 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Quran, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Quran tersebut tidak semuanya memberikan arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir membuat pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat yang memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, jugaada ayat yang maknanya tersirat didalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Quran.
Oleh karena itu, di dalam makalah ini pemakalah akan menguraikan tentang mafhum, pembagian, syarat-syarat, dan kehujjahannya.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini, adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengertian dari mafhum?
2.      Apa saja pembagian dari mafhum?
3.      Bagaimana syarat-syarat mafhum?
4.      Bagaimana kehujjahan dari mafhum?
C.    Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas dapat ditentukan tujuan penulisan, sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui dan memahami pengertian mafhum.
2.      Untuk mengetahui dan memahami pembagian-pembagian mafhum.
3.      Untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat mafhum.
4.      Untuk mengetahui dan memahami kehujjahan mafhum.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mafhum
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu lafal, sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mafhum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Tegasnya, dilalat al-mafhum itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? ÇËÌÈ  
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “uf” dan janganlah kamu membentak mereka.” (QS. Al-Isra’:23)
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua. Pemahaman yang diambil dari segi pembicaraaan yang tidak nyata disebut mafhum.[1]

B.     Pembagian Mafhum
Mahfum juga dapat dibedakan pada dua bagian:
1.      Mafhum Muwafaqah: yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan. Mafhum muwafaqah dapat dibedakaan kepada:[2]
a.      Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya dari pada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, Firman Allah SWT:
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é&  ÇËÌÈ  
Artinya: “Maka janganlah kamu katakan kepada dua orang ibu bapakmu perkataan yang keji.” (QS. Al-Isra’:23)
Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya[3].
b.      Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti Firman Allah SWT:

¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( š  
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka.” (QS. An Nisa: 10)
Membakar atau setiap cara yang bertujuan untuk menghabiskan harta anak yatim haram hukumnya sebagaimana hartanya.[4]
2.      Mafhum Mukhalafah
Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapakan) maupun nafi (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikan-nya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti Firman Allah SWT:
#sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4  ÇÒÈ  
Artinya: “Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan Shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan tinggalkanlah jual beli.” (QS.Jum’at: 9).
Dipahami dari ayat ini bahwa boleh jual beli di hari Jum’at sebelum adzan si Mua’zin dan sesudah mengerjakan Shalat. Mafhum Mukhalafah ini dinamakan juga Dalil Khitab.[5]
Mafhun Mukhalafah ada lima macam, yaitu:
a.      Mafhum Mukhalafah wasat (sifat), yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya, seperti firman Allah SWT:
`ÏJsù $¨B ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷ƒr& `ÏiB ãNä3ÏG»uŠtGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# 4  ÇËÎÈ
Artinya: “ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki”. (QS. An-Nisa’: 25)
Mantug Nash menunjukkan bahwa halal mengawini budak-budak perempuan yang beriman sebaliknya berdasarkan mufhum mukhalafah sifat haram mengawini budak-budak yang kafir.
b.      Mafhum mukhalafah ghayah (batas), yaitu lafal yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan).
Seperti dalam Firman Allah SWT:
(#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# ( ÇÊÑÐÈ  
Artinya: “Dan makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Mafhum ghayah dalam ayat ini ialah kalau sudah ada nyata benang putih maka tidak boleh lagi makan dan minum.
c.       Mafhum Mukhalafah Syarat, menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, jika syarat tersebut telah hilang.
Allah berfirman:
bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ  
Artinya: “Kemudian jika mereka merelakan kepadamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu dengan senang hati (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya ”. (QS. An-Nisa’: 4)
Mafhum mukhalafah syarat dalam ayat ini adalah kalau mereka tidak senang, maka janganlah mengambil sebagian mas kawin itu.
d.      Mafhum mukhalafah ‘adad (bilangan), yaitu menghubungkan hukum sesuatu, kepada bilangan yang tertentu.
Seperti dalam Firman Allah SWT:
 óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ ŸÇÍÈ  
Artinya: “Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera”. (QS. An-Nur: 4)
Menurut Mafhum Mukhalafah ‘adad dalam ayat ini ialah jumlah pukulan tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang dari delapan puluh kali.
e.       Mafhum Mukhalafah Laqaab (pemahaman dengan julukan), adalah menggantungkan hukum kepada Isim Alam atau Isim Fi’il.[6]
Seperti Firman Allah SWT:
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& 
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”.
Mafhum mukhalafah laqaab dalam ayat ini adalah selain para ibu.[7]

C.    SYARAT-SYARAT MAFHUM MUKHALAFAH
Syarat-ayarat Mafhum Mukhalafah, ialah seperti yang dikemukakan oleh A. Hanafie dalam bukunya ushul fiqih, sebagai berikut:
Untuk syahnya Mafhum Mukhalafah, diperlukan empat syarat:
1.      Mafhum Mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil Mantuq maupun Mafhum Muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
Ÿwur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ)
Artinya: dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. (QS. Al-Isra’: 31)
Mafhumnya, kalau bukan karana takut kemiskinan dibunuh, tetapi Mafhum Mukhalafah ini berlawanan dengan dalil Mantuq, ialah:
Ÿwur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar ”. (QS. AL-Isra’: 33)
Contoh yang berlawanan dengan Mafhum Muwafaqah:
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s?  .  .  .  .
Artinya: “Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan pula engkau hardik ”. (QS. Isra’: 23)
Yang disebutkan hanaya kata-kata yang kasar Mafhum Mukhalafahnya boleh memukuli. Tetapi Mafhum ini berlawana dengan dalil Mafhum Muwafaqahnya, yaitu tidak boleh memukul.
2.      Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contohnya:
ôãNà6ç6Í´¯»t/uur . . . ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm  .  .  .  .
Artinya: “Dan anak-anak istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu ”. (QS. An-Nisa: 23)
Dan perkataan “ yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam pemeliharaan boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karna mengikuti ibunya.
3.      Yang disebutkan (mantuq), bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Contoh:
Artinya: “Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik dengan lisan ataupun dengan tangannya ” (Hadits).
Dengan perkataan “ orang-orang Islam (muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai diantara orang-orang Islam sendiri.
4.      Yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain. Contoh:
. . . Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$#  . . .
Artinya: “Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beriktikaf di Masjid ”. (QS. Al-Baqarah: 187)
Tidak dapat dipahamkan kalau tidak beriktikaf di Masjid, boleh mencampuri.[8]

D.    KEHUJJAHAN
Mafhum Muwafaqah bisa menjadi “Hujjah”. Hampir semua Ulama’ berpendirian demikian, kecuali golongan Zhahiriyah.
“Semua Mafhum Mukhalafah bisa menjadi Hujjah, kecuali Mafhum Laqab”. Demikianlah pendapat kebanyakan Ulama’ Ushul, mengkhususkan sesuatu untuk disebut, tentulah ada faedahnya. Kalau tidak demikian apa perlunya disebutkan? Juga dapat kita ketahui dari Bahasa Arab, bahwa apabila sesuatu mempunyai dua sifat dan yang disebutkan hanya salah satunya, maka yang dikehendaki, ialah sifat yang disebutkan bukan sifat lainnya.
Berlainan dengan pendapat diatas, maka Abu Hanifah dan Ibnu Hazm dari golongan Zhahiriyah mengatakan, bahwa semua Mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi Hujjah (pegangan). Menyebutkan salah satu sifat, tidak berarti meniadakan sifat-sifat lainnya.[9]





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu lafal, sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mafhum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Mahfum juga dapat dibedakan pada dua bagian, yaitu Mafhum Muwafaqah, dan Mafhum Mukhalafah. Mafhum Muwafaqah juga dibedakan menjadi Fahwal Khitab dan Lahnal Khitab. Sedangkan Mafhun Mukhalafah ada lima macam, yaitu, Mafhum Mukhalafah wasat (sifat), Mafhum mukhalafah ghayah (batas), Mafhum Mukhalafah Syarat, Mafhum mukhalafah ‘adad (bilangan), Mafhum Mukhalafah Laqaab (pemahaman dengan julukan).
Syarat-ayarat Mafhum Mukhalafah diperlukan empat syarat yaitu, Mafhum Mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi, yang disebutkan (mantuq), bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaa, yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.
Mafhum Muwafaqah bisa menjadi “Hujjah”. Hampir semua Ulama’ berpendirian demikian, kecuali golongan Zhahiriyah. “Semua Mafhum Mukhalafah bisa menjadi Hujjah, kecuali Mafhum Laqab”. Demikianlah pendapat kebanyakan Ulama’ Ushul.

B.     Saran
Dari beberapa Uraian diatas jelas banyak kesalahan serta kekeliruan, baik disengaja maupun tidak. Oleh karna itu, kami harapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki segala keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.





DAFTAR PUSTAKA

Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih, Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Khallaf, Abdul Wahab. 1994.Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama.
Uman, Khairul dan A. Ahyar Aminudin. 2001.Ushul Fiqih II. Bandung: CV Pustaka Setia.


[1] [1]Khairul Uman dan A. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, cet-2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 48.

[2] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, cet-2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 178.
[3] Ibid, 178-179.
[4] Khairul Uman dan A. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih Ii, cet-2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 49.
[5] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, cet-2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 179-180.
[6] Khairul Uman dan A. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, cet-2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 50-53.
[7] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, cet-1,(Semarang: Dina Utama, 1994), hlm.232.
[8] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, cet-2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 180-183.
[9] Ibid, 186-187.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar