MAFHUM
MUWAFAQAH DAN MAFHUM MUKHALAFAH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqih II
Kelas PAI-D Semester IV
Dosen Pengampu: Sayful Mujab, M.S.I
Disusun Oleh Kelompok 4:
1. Sofiyunnisa’ NIM: 1410110133
2. Naeli Asrofil Umam NIM: 1410110134
3. Sayid Abdullah NIM: 1410110135
4. Apritiyani Putri NIM: 1410110136
JURUSAN
TARBIYAH
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
TAHUN
AKADEMIK 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam
Al-Quran, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Quran tersebut tidak
semuanya memberikan arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau
telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang
lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami
Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga
pemahaman yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan
sebuah pembahasan tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak
serta merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para
mufassir membuat pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika kita
meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat yang memberikan
pemahaman secara langsung dan jelas, jugaada ayat yang maknanya tersirat
didalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan mengetahui
hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Quran.
Oleh karena itu, di dalam makalah
ini pemakalah akan menguraikan tentang mafhum, pembagian, syarat-syarat, dan
kehujjahannya.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas
dalam makalah ini, adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
pengertian dari mafhum?
2.
Apa
saja pembagian dari mafhum?
3.
Bagaimana
syarat-syarat mafhum?
4.
Bagaimana
kehujjahan dari mafhum?
C.
Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas dapat
ditentukan tujuan penulisan, sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui dan memahami pengertian mafhum.
2.
Untuk
mengetahui dan memahami pembagian-pembagian mafhum.
3.
Untuk
mengetahui dan memahami syarat-syarat mafhum.
4.
Untuk
mengetahui dan memahami kehujjahan mafhum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mafhum
Mafhum
secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu lafal, sedangkan menurut
istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mafhum muwafaqah) atau
pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Tegasnya,
dilalat al-mafhum itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum
yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? ÇËÌÈ
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “uf” dan janganlah kamu membentak
mereka.” (QS. Al-Isra’:23)
Hukum yang tersurat dalam ayat
tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar “uf” dan menghardik orang tua.
Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan
(tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan
lain yang menyakiti orang tua. Pemahaman yang diambil dari segi pembicaraaan
yang tidak nyata disebut mafhum.[1]
B.
Pembagian Mafhum
Mahfum
juga dapat dibedakan pada dua bagian:
1.
Mafhum Muwafaqah:
yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan.
Mafhum muwafaqah dapat dibedakaan kepada:[2]
a.
Fahwal Khitab, yaitu apabila
yang dipahamkan lebih utama hukumnya dari pada yang diucapkan. Seperti memukul orang
tua lebih tidak boleh hukumnya, Firman Allah SWT:
xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& ÇËÌÈ
Artinya: “Maka janganlah kamu
katakan kepada dua orang ibu bapakmu perkataan yang keji.” (QS. Al-Isra’:23)
Sedangkan
kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya[3].
b.
Lahnal Khitab, yaitu apabila
yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti Firman Allah SWT:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR (
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya
sebenarnya memakan api kedalam perut mereka.” (QS. An Nisa: 10)
Membakar
atau setiap cara yang bertujuan untuk menghabiskan harta anak yatim haram
hukumnya sebagaimana hartanya.[4]
2.
Mafhum Mukhalafah
Mafhum
Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat
(menetapakan) maupun nafi (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipahami
selalu kebalikan-nya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti Firman Allah
SWT:
#sÎ) ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) Ìø.Ï «!$# (#râsur yìøt7ø9$# 4 ÇÒÈ
Artinya:
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan Shalat pada hari Jum’at, maka
bersegeralah kamu mengerjakannya dan tinggalkanlah jual beli.” (QS.Jum’at:
9).
Dipahami
dari ayat ini bahwa boleh jual beli di hari Jum’at sebelum adzan si Mua’zin dan
sesudah mengerjakan Shalat. Mafhum Mukhalafah ini dinamakan juga Dalil Khitab.[5]
Mafhun Mukhalafah ada lima macam, yaitu:
a.
Mafhum Mukhalafah wasat (sifat),
yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya, seperti firman
Allah SWT:
`ÏJsù $¨B ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷r& `ÏiB ãNä3ÏG»utGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$# 4 ÇËÎÈ
Artinya:
“ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki”.
(QS. An-Nisa’: 25)
Mantug
Nash menunjukkan bahwa halal mengawini budak-budak perempuan yang beriman
sebaliknya berdasarkan mufhum mukhalafah
sifat haram mengawini budak-budak yang kafir.
b.
Mafhum mukhalafah ghayah (batas),
yaitu lafal yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hinggaan).
Seperti dalam Firman
Allah SWT:
(#qè=ä.ur (#qç/uõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKt ãNä3s9 äÝøsø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsø:$# ÏuqóF{$# z`ÏB Ìôfxÿø9$# ( ÇÊÑÐÈ
Artinya: “Dan
makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu
fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Mafhum ghayah dalam ayat ini
ialah kalau sudah ada nyata benang putih maka tidak boleh lagi makan dan minum.
c.
Mafhum Mukhalafah Syarat, menetapkan
kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, jika syarat tersebut telah
hilang.
Allah
berfirman:
bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
Artinya: “Kemudian jika mereka merelakan kepadamu sebagian dari
mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu dengan
senang hati (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya ”. (QS. An-Nisa’:
4)
Mafhum mukhalafah syarat
dalam ayat ini adalah kalau mereka tidak senang, maka janganlah mengambil
sebagian mas kawin itu.
d.
Mafhum mukhalafah ‘adad (bilangan), yaitu menghubungkan hukum sesuatu, kepada bilangan yang tertentu.
Seperti dalam Firman
Allah SWT:
óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ ÇÍÈ
Artinya:
“Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera”. (QS.
An-Nur: 4)
Menurut
Mafhum Mukhalafah ‘adad dalam ayat
ini ialah jumlah pukulan tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang dari delapan
puluh kali.
e.
Mafhum Mukhalafah Laqaab (pemahaman dengan julukan), adalah menggantungkan hukum kepada Isim Alam atau Isim Fi’il.[6]
Seperti Firman
Allah SWT:
ôMtBÌhãm
öNà6øn=tã
öNä3çG»yg¨Bé&
Artinya: “Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”.
Mafhum mukhalafah laqaab
dalam ayat ini adalah selain para ibu.[7]
C.
SYARAT-SYARAT MAFHUM MUKHALAFAH
Syarat-ayarat Mafhum Mukhalafah, ialah seperti yang dikemukakan
oleh A. Hanafie dalam bukunya ushul fiqih, sebagai berikut:
Untuk syahnya Mafhum Mukhalafah, diperlukan empat syarat:
1.
Mafhum
Mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil Mantuq
maupun Mafhum Muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
wur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ)
Artinya: “dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”. (QS. Al-Isra’: 31)
Mafhumnya, kalau bukan karana takut
kemiskinan dibunuh, tetapi Mafhum Mukhalafah ini berlawanan dengan dalil Mantuq,
ialah:
wur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# wÎ) Èd,ysø9$$Î/
Artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar ”. (QS. AL-Isra’: 33)
Contoh
yang berlawanan dengan Mafhum Muwafaqah:
xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& wur $yJèdöpk÷]s? . . . .
Artinya:
“Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan
pula engkau hardik ”. (QS. Isra’: 23)
Yang
disebutkan hanaya kata-kata yang kasar Mafhum Mukhalafahnya boleh memukuli.
Tetapi Mafhum ini berlawana dengan dalil Mafhum Muwafaqahnya, yaitu tidak boleh
memukul.
2.
Yang
disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contohnya:
ôãNà6ç6Í´¯»t/uur . . . ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm . .
. .
Artinya:
“Dan anak-anak istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu ”. (QS. An-Nisa:
23)
Dan
perkataan “ yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang
tidak ada dalam pemeliharaan boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, sebab
memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karna mengikuti ibunya.
3.
Yang
disebutkan (mantuq), bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Contoh:
Artinya: “Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu
orang-orang Islam lainnya, baik dengan lisan ataupun dengan tangannya ”
(Hadits).
Dengan perkataan “ orang-orang Islam (muslimin) tidak dipahamkan
bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan
tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai diantara
orang-orang Islam sendiri.
4.
Yang
disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.
Contoh:
. . . wur
Æèdrçų»t7è?
óOçFRr&ur
tbqàÿÅ3»tã
Îû
ÏÉf»|¡yJø9$#
. . .
Artinya:
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang
beriktikaf di Masjid ”. (QS. Al-Baqarah: 187)
Tidak
dapat dipahamkan kalau tidak beriktikaf di Masjid, boleh mencampuri.[8]
D.
KEHUJJAHAN
Mafhum
Muwafaqah bisa menjadi “Hujjah”. Hampir semua Ulama’ berpendirian demikian,
kecuali golongan Zhahiriyah.
“Semua
Mafhum Mukhalafah bisa menjadi Hujjah, kecuali Mafhum Laqab”. Demikianlah
pendapat kebanyakan Ulama’ Ushul, mengkhususkan sesuatu untuk disebut, tentulah
ada faedahnya. Kalau tidak demikian apa perlunya disebutkan? Juga dapat kita
ketahui dari Bahasa Arab, bahwa apabila sesuatu mempunyai dua sifat dan yang
disebutkan hanya salah satunya, maka yang dikehendaki, ialah sifat yang
disebutkan bukan sifat lainnya.
Berlainan
dengan pendapat diatas, maka Abu Hanifah dan Ibnu Hazm dari golongan Zhahiriyah
mengatakan, bahwa semua Mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi Hujjah (pegangan).
Menyebutkan salah satu sifat, tidak berarti meniadakan sifat-sifat lainnya.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami
dari suatu lafal, sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari
suatu lafal (mafhum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal
yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Mahfum juga dapat dibedakan pada dua bagian, yaitu
Mafhum Muwafaqah, dan Mafhum Mukhalafah. Mafhum Muwafaqah juga dibedakan
menjadi Fahwal Khitab dan Lahnal Khitab. Sedangkan Mafhun Mukhalafah ada lima
macam, yaitu, Mafhum Mukhalafah wasat (sifat), Mafhum mukhalafah ghayah
(batas), Mafhum Mukhalafah Syarat, Mafhum mukhalafah ‘adad (bilangan), Mafhum
Mukhalafah Laqaab (pemahaman dengan julukan).
Syarat-ayarat
Mafhum Mukhalafah diperlukan empat syarat yaitu, Mafhum Mukhalafah tidak
berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, yang disebutkan (mantuq) bukan suatu
hal yang biasanya terjadi, yang disebutkan (mantuq), bukan dimaksudkan untuk
menguatkan sesuatu keadaa, yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri,
tidak mengikuti kepada yang lain.
Mafhum
Muwafaqah bisa menjadi “Hujjah”. Hampir semua Ulama’ berpendirian demikian,
kecuali golongan Zhahiriyah. “Semua Mafhum Mukhalafah bisa menjadi Hujjah,
kecuali Mafhum Laqab”. Demikianlah pendapat kebanyakan Ulama’ Ushul.
B.
Saran
Dari beberapa Uraian
diatas jelas banyak kesalahan serta kekeliruan, baik disengaja maupun tidak.
Oleh karna itu, kami harapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki segala
keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih, Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Khallaf, Abdul Wahab. 1994.Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama.
Uman, Khairul dan A.
Ahyar Aminudin. 2001.Ushul Fiqih II. Bandung:
CV Pustaka Setia.
[1]
[1]Khairul Uman dan A. Ahyar
Aminudin, Ushul Fiqih II, cet-2,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 48.
[2]
Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, cet-2, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2001), hlm. 178.
[3] Ibid, 178-179.
[4]
Khairul Uman dan A. Ahyar
Aminudin, Ushul
Fiqih Ii, cet-2,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 49.
[5]
Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, cet-2, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2001), hlm. 179-180.
[6]
Khairul Uman dan A. Ahyar
Aminudin, Ushul Fiqih II, cet-2,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 50-53.
[7]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, cet-1,(Semarang: Dina
Utama, 1994), hlm.232.
[8]
Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, cet-2, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2001), hlm. 180-183.
[9] Ibid, 186-187.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar